“Ahh Parpol
mah ga ada yang bisa dipercaya”
“Buat apa
milih, toh hidup juga gini-gini aja. Mending golput.”
“Berita
korupsi lagi-korupsi lagi, ga habis-habis”
Bicara di
warung kopi, kafe elite, sampai masuk kampus pun anda akan mudah menjumpai
jawaban seperti ini. Sungguh artinya di alam demokrasi, yang “katanya” sudah
makin matang ini kepercayaan publik terhadap hasil demokrasi itu sendiri
–pemimpin- justru anjlok kedasar jurang.
Hal ini
menjalar rata mulai dari tukang becak di warung kopi, eksmud di kafe elite,
sampai anak kampus yang berlabel agent of change. Semua pesimis pada pemimpin
kita!
Gak bisa
dipungkiri juga karena nyatanya mereka-mereka yang terpilih itu banyak yang
menyakiti hati rakyat dengan tindakannya yang barbar- korupsi!
Mulai dari pemerintahan
pusat , menjalar akut ke daerah-daerah. Mulai dari menteri, hakim, kepala
dinas, sampai pegawai ditingkat bawahnya juga ikut-ikut tingkah komandannya. “Sesuai
instruksi atasan” katanya, tanpa sedikitpun moralnya berontak.
Pelayanan
publik jadi nomor sekian, pembangunan fasilitas umum tidak memperhatikan
kualitas, program untuk wong cilik sekedar “yang penting ada” belaka.
Yakinkah
semuanya begitu?
Untungnya
ditengah-tengah keringnya kepercayaan masyarakat terhadap figur pimpinan,
muncul sosok-sosok yang kemudian menjadi panutan. Mereka jadi idola bukan
karena menuruti semua keinginan masyarakat, namun karena berani mendobrak
“tradisi” lama. Meluruskan yang benar itu benar, yang salah itu salah.
Contoh :
sudah dari dulu waduk itu dihuni masyarakat, sudah dari dulu tanah abang itu
amburadul. Namun jokowi berani menggusur dan mengembalikannya pada fungsi
aslinya. Sosok”media darling” di Jakarta yang berani mendobrak tradisi lama,
melakukan hal-hal yang dianggap sulit bahkan mustahil. Rakyat kemudian jatuh
cinta pada aksinya karena merasa yang dilakukannya itu benar, masuk ke logika
kebenaran menurut masyarakat. Pun begitu dengan wakil Jokowi di Jakarta, Ahok
alias Basuki Tjahya Purnama. Galak bukan main, siapa saja dimarahin kalau ga
beres. Tapi tindakannya masuk di logika masyarakat, marah-marahnya itu dirasa
sebagai bentuk ketidakpuasan yang dirasakan juga oleh khalayak. Maka rakyat
mengganjarnya dengan simpati dan rasa hormat.
Anis
Baswedan, Rektor Universitas Paramadina bertidak dengan jalur lain, melalui
gerakan Indonesia Mengajar beliau mengirim putra-putri lulusan terbaik
masing-masing universitas untuk blusukan mengajar ke daerah terpencil. Logika
tradisional masyarakat berkata bahwa pantasnya lulusan terbaik di universitas
setenar UI, ITB, ITS, UNPAD dll akan jadi pegawai di perusahaan bonafit, hidup
enak dan jadi kaya, “mereka kan sarjana muda, pasti orientasinya cari kerja”.
Begitu “logika tradisional” kita, namun
dengan yayasannya Anies Baswedan membuktikan bahwa “perut ibu pertiwi
masih terus melahirkan pejuang-pejuang tangguh”, begitu katanya.
Ada juga Ridwan
Kamil, walikota Bandung ini menginisiasi gerakan bersepeda dengan cara dirinya
sendiri juga bersepeda ke kantor, menertibkan kota Bandung yang mulai macet
parah, dan rajin ber-twit ria dengan masyarakat. Hal-hal yang serius sampai
absurd ga penting pun ditanggapi oleh beliau, entah dengan jawaban serius
maupun dibalas candaan. Publik akhirnya merasa dekat dan merasa memiliki
pemimpinnya, ga heran waktu farhat abbas si capres pocong menyerang Ridwan
Kamil mengenai wifi di masjid publik Bandung marah, mereka ikut marah karena
mereka mencintai pemimpinnya.
Masih banyak
pemimpin/tokoh lain yang menampakan diri ditengah pusaran arus “pemimpin
itu-itu saja”, muncul mengobati dahaga publik akan sosok berkualitas. Masih ada
tokoh-tokoh seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, Tri Rismaharini dan lainnya yang
mungkin lolos dari liputan media. Mereka ini memimpin tanpa kepentingan pribadi
bahkan mengorbankan kepentingan pribadi.
Pada akhirnya
rakyat masih banyak yang miskin, namun mereka tetap cinta pada pemimpinnya
karena tau mereka miskin bukan karena dicurangi, mereka miskin namun merasa
optimis dan terhormat. Mereka percaya pemimpinnya sedang berjuang mengubah
nasib mereka bukan sedang menggarong harta negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar