Minggu, 01 Desember 2013

Pemimpin Yang Dicintai

“Ahh Parpol mah ga ada yang bisa dipercaya”

“Buat apa milih, toh hidup juga gini-gini aja. Mending golput.”

“Berita korupsi lagi-korupsi lagi, ga habis-habis”

Bicara di warung kopi, kafe elite, sampai masuk kampus pun anda akan mudah menjumpai jawaban seperti ini. Sungguh artinya di alam demokrasi, yang “katanya” sudah makin matang ini kepercayaan publik terhadap hasil demokrasi itu sendiri –pemimpin- justru anjlok kedasar jurang.

Hal ini menjalar rata mulai dari tukang becak di warung kopi, eksmud di kafe elite, sampai anak kampus yang berlabel agent of change. Semua pesimis pada pemimpin kita!
Gak bisa dipungkiri juga karena nyatanya mereka-mereka yang terpilih itu banyak yang menyakiti hati rakyat dengan tindakannya yang barbar- korupsi!

Mulai dari pemerintahan pusat , menjalar akut ke daerah-daerah. Mulai dari menteri, hakim, kepala dinas, sampai pegawai ditingkat bawahnya juga ikut-ikut tingkah komandannya. “Sesuai instruksi atasan” katanya, tanpa sedikitpun moralnya berontak.

Pelayanan publik jadi nomor sekian, pembangunan fasilitas umum tidak memperhatikan kualitas, program untuk wong cilik sekedar “yang penting ada” belaka.

Yakinkah semuanya begitu?

Untungnya ditengah-tengah keringnya kepercayaan masyarakat terhadap figur pimpinan, muncul sosok-sosok yang kemudian menjadi panutan. Mereka jadi idola bukan karena menuruti semua keinginan masyarakat, namun karena berani mendobrak “tradisi” lama. Meluruskan yang benar itu benar, yang salah itu salah.

Contoh : sudah dari dulu waduk itu dihuni masyarakat, sudah dari dulu tanah abang itu amburadul. Namun jokowi berani menggusur dan mengembalikannya pada fungsi aslinya. Sosok”media darling” di Jakarta yang berani mendobrak tradisi lama, melakukan hal-hal yang dianggap sulit bahkan mustahil. Rakyat kemudian jatuh cinta pada aksinya karena merasa yang dilakukannya itu benar, masuk ke logika kebenaran menurut masyarakat. Pun begitu dengan wakil Jokowi di Jakarta, Ahok alias Basuki Tjahya Purnama. Galak bukan main, siapa saja dimarahin kalau ga beres. Tapi tindakannya masuk di logika masyarakat, marah-marahnya itu dirasa sebagai bentuk ketidakpuasan yang dirasakan juga oleh khalayak. Maka rakyat mengganjarnya dengan simpati dan rasa hormat.

Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina bertidak dengan jalur lain, melalui gerakan Indonesia Mengajar beliau mengirim putra-putri lulusan terbaik masing-masing universitas untuk blusukan mengajar ke daerah terpencil. Logika tradisional masyarakat berkata bahwa pantasnya lulusan terbaik di universitas setenar UI, ITB, ITS, UNPAD dll akan jadi pegawai di perusahaan bonafit, hidup enak dan jadi kaya, “mereka kan sarjana muda, pasti orientasinya cari kerja”. Begitu “logika tradisional” kita, namun  dengan yayasannya Anies Baswedan membuktikan bahwa “perut ibu pertiwi masih terus melahirkan pejuang-pejuang tangguh”, begitu katanya.

Ada juga Ridwan Kamil, walikota Bandung ini menginisiasi gerakan bersepeda dengan cara dirinya sendiri juga bersepeda ke kantor, menertibkan kota Bandung yang mulai macet parah, dan rajin ber-twit ria dengan masyarakat. Hal-hal yang serius sampai absurd ga penting pun ditanggapi oleh beliau, entah dengan jawaban serius maupun dibalas candaan. Publik akhirnya merasa dekat dan merasa memiliki pemimpinnya, ga heran waktu farhat abbas si capres pocong menyerang Ridwan Kamil mengenai wifi di masjid publik Bandung marah, mereka ikut marah karena mereka mencintai pemimpinnya.

Masih banyak pemimpin/tokoh lain yang menampakan diri ditengah pusaran arus “pemimpin itu-itu saja”, muncul mengobati dahaga publik akan sosok berkualitas. Masih ada tokoh-tokoh seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, Tri Rismaharini dan lainnya yang mungkin lolos dari liputan media. Mereka ini memimpin tanpa kepentingan pribadi bahkan mengorbankan kepentingan pribadi.


Pada akhirnya rakyat masih banyak yang miskin, namun mereka tetap cinta pada pemimpinnya karena tau mereka miskin bukan karena dicurangi, mereka miskin namun merasa optimis dan terhormat. Mereka percaya pemimpinnya sedang berjuang mengubah nasib mereka bukan sedang menggarong harta negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar