Selasa, 13 November 2012

Mendikte atau Mendidik?

Weekend ini seperti biasa selama di Jakarta, selalu saya sempatkan berkunjung kerumah Mbak saya di daerah Cileungsi. Disana ada 2 keponakan saya yang lucunya bukan main, si Aura (7 tahun) dan Kirani (5 tahun). Selalu bikin kangen liat tingkah 2 bocah lucu ini.
Si Kakak, Aura, ini kelas satu SD sekarang, mengikuti 2 jenis les setiap minggu dan selalu rajin mengerjakan PR. Kebetulan mbak saya terlihat sangat bersemangat mengenai pendidikan anak-anaknya. Tapi suatu ketika ada yang salah saya lihat pada saat mbak saya mengajar anaknya. Mbak saya ini terlihat gemes atau barangkali menjurus ke agak “keras” ketika mengajarkan suatu muatan lokal yang keponakan saya tadi tidak kuasai, walaupun masih dalam batas yang normal. Bukan berarti si Kakak ini bodoh lo yaa, karena sempat saya mengajak belajar si Kakak dia cukup cerdas menerima beberapa mata pelajaran.
Bagaimana si Mbak menuntut anaknya untuk paham muatan lokal tersebut, sementara anaknya tidak paham juga dengan apa yang dimaksud mengingatkan saya pada suatu topik diskusi mengenai pendidikan yang pernah saya lihat di stasiun televisi lokal beberapa waktu lalu. Bahwa anak sekarang dituntut dengan begitu banyak mata pelajaran. Hal ini ditambah tuntutan orangtua yang menuntut untuk anak “selalu bisa”. Padahal belum tentu si anak suka. Pintar atau tidak anak, tertera pada angka2 di raport menjadi tolak ukur kebanggaan orang tua.
Padahal seharusnya tujuan dari pendidikan itu tidak seharusnya  selalu menuntuk anak untuk jadi “pintar”, sepanjang pengetahuan saya harusnya pendidikan di anak usia dini itu adalah untuk memetakan dimana “bakat” mereka. Bayangkan kalo sejak kecil sekolah “memaksa”  kita untuk cerdas pada bidang-bidang seperti Matematika, Fisika, Bahasa Inggris dll. Maka buat saya “pendidikan” yang seharusnya menjadikan orang berpikiran logis, terbuka dan merdeka akan kehilangan maknanya, kalau itu yang terjadi bukan “mendidik” namanya, tapi “mendikte”. Tau kan bedanya “mendidik” dan “mendikte”?
Mengingat sekali lagi tulisan bersambung dari Renald Khasali yang pernah dimuat di Jawa Pos.  Bahwa suatu ketika guru besar UI ini pindah ke Amerika dengan membawa serta anak serta istrinya, si anak otomatis harus beradaptasi dengan suasana disana, tanpa kemampuan bahasa asing yang mumpuni juga jelasnya.  Pak Renald suatu kali dibuat kaget ketika melihat PR si anak di sekolah barunya tersebut diberi nilai memuaskan oleh Gurunya, datanglah Pak Renald ke sekolah anaknya dan bertanya pada gurunya perihal PR yang menurut pendapat beliau harusnya mendapat nilai yang jauh dari memuaskan. Si Guru-pun menjawab dengan argument yang membuat beliau takjub, kurang lebih seingat yang saya pernah baca “Pak Renald, anak anda baru pindah ke suatu tempat baru yang jauh kondisinya dari negeri anda, saya percaya yang baru saja dikerjakan anak anda ini adalah maksimal sesuai kemampuannya, tentu juga butuh perjuangan keras dari anak anda untuk menyelesaikan tugasnya ini dan kami mengapresiasi itu” . See? Itulah bagaimana pendidikan seharusnya mengapresiasi dan mengarahkan. Bukan sebaliknya mendikte dan cenderung memberi stempel mana “murid bodoh” dan mana “murid pintar”.
Kalau semua orang pintar Matematika lalu siapa yang mau jadi Olahragawan? Kalau semua anak pandai Fisika lalu siapa yang jadi Musisi? Maksud saya tidak ada anak bodoh, yang ada adalah anak yang memiliki bakat yang berbeda-beda. Memangnya Bill Gates berhasil membuat Microsoft karena dia punya gelar sarjana? Memangnya Mark Zuckerberg mendirikan Facebook karena cumlaude saat kuliah? Jawabannya adalah Tidak! Tanpa mencela sama sekali makna pendidikan (karena saya juga produk pendidikan), seperti saya katakan diatas bahwa pendidikan akan hilang dari makna aslinya apabila sekedar mencetak orang “pintar” yang justru tidak tau akan digunakan untuk apa kepintarannya tersebut. Kalau saya tanya bagaimana anda mendapatkan ijazah sarjana mungkin anda akan jawab begini “tentu setelah saya menyelesaikan tugas akhir/skripsi saya yang telah saya perjuangkan dihadapan dosen penguji”. Lalu kalau saya tanyakan “bagaimana skripsi anda tersebut diaplikasikan?”  Tentu akan sedikit sekali yang memiliki jawaban untuk itu.
-Semoga menjadi koreksi untuk penulis sendiri-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar