Si sulung merenung, wajahnya jadi murung. Lesung pipinya tak lagi membuatnya terlihat manis. Sudah berhari-hari si sulung seperti itu. Hari ini seharusnya sulung senang, karena dia berulang tahun ke 17.
Tak seorangpun di rumah paham kenapa Sulung murung, tidak si bungsu bahkan Emak. Tapi Abah paham kenapa si sulung gelisah. Dipanggilnya si sulung disatu sore , "Aku paham keinginanmu, pergilah kalau ingin pergi, merantaulah kemana kau suka".
"Tidak Abah, berada dirumah sepertinya lebih baik", bantah si sulung halus. Dia paham bahwa tanggungjawab merawat Abah Emak yang sudah tua renta dirumah merupakan tanggungjawabnya. Terlebih si bungsu juga ingin bersekolah ke sebuah SMP favorit di kota. Lantas siapa nanti yang menggembalakan ternak mereka di desa? menjaga Abah Emak dirumah? cukuplah dua hal itu memberatkan keinginan sulung untuk merantau.
Tapi Abah paham, ditatapnya mata sulung dalam-dalam. Sulung tertunduk, tak berani membalas tatapan Abah yang menghujam ragu-ragunya. Cukup dengan itu akhirnya sulung meng-iya-kan tatapan Abah.
Bahwa sebuah tatapan dan anggukan kecil hari itu menjadi dialog yang sangat dalam, seolah film hitam putih bisu berdurasi seumur hidup bagi si sulung.
Akhirnya sulung pergi, membawa si bungsu merantau bersamanya. Dilepas lirih air mata Emak dan sekali lagi tatap tajam Abah.
Sulung berjalan lurus, luruuus saja.
Tak sedikitpun Ia menoleh sampai tiba dikejauhan dimana gubuk mereka hanya terlihat sebagai sebuah kotak kecil ditengah ladang. Dimana Emak Abah hanya terlihat sebagai bayangan yang menjejali pikiran dan menggenang jadi air mata.
Sulung berjalan terus, berjanji hanya kembali kalau janjinya sudah merekah sehingga cukup indah untuk disembahkan pada Emak Abah di kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar