Rabu, 14 September 2011

Sepeda Angin

Dengan sepeda angin tua ini aku mengayuh tiap meter jarak antara rumahku dan rumahmu, dulu waktu kita masih sekelas setiap pukul setengah enam pagi aku sudah memastikan diri hadir didepan rumahmu, cukup  dengan membunyikan bel sepeda ini :

kriing..
kriiiing..

Maka sudah cukup untuk memberitahumu kalau aku sedang menunggumu diluar pagar rumah untuk pergi berangkat bersama. Semenit kemudian kamu akan keluar rumah dengan terburu-buru, salim dan berpamitan dengan Ayah Ibumu kemudian menyambar sepeda anginmu, mengayuhnya kuat, daaan ... kitapun pagi ini kembali berlomba untuk sampai ke sekolah lebih dulu, selalu seperti ini setiap pagi. Selalu semenyenangkan ini :)

Lalu sepanjang jalan kesekolah itu kita banyak bergurau, aku tau ketika itu kamu sedang mencoba mengalihkan perhatianku, karena sudah pasti akulah yang akan finish digerbang sekolah lebih dulu. Tapi tak apa, aku suka mendengarkan gurauanmu tentang Pak Dama, guru PPKN kita yang kalau mengajar malah lebih banyak berkhutbah, atau ejekanmu soal Rika, teman sebangkumu yang dengan semena-mena kamu salin buku PRnya setiap hari kalau sedang malas mengerjakan tugas.


Maka kalau sudah sekitar seratus meter jaraknya dari gerbang sekolah kamu akan kembali mengayuh kuat sepedamu, sambil tertawa licik karena merasa menang dan berhasil mengerjaiku. Tak apa, aku biarkan saja, karena dari belakang aku bisa melihat rambutmu tergerai angin, mengikuti aromamu dari belakang dan siangnya aku bisa pura-pura menantangmu lagi.





Dikelas kamu duduk dua meja di depanku, sengaja aku pilih bangku dibelakangmu agar kamu tidak sadar bahwa setiap saat aku selalu mencuri-curi kesempatan untuk memandangimu. Sampai waktu pulang tiba kita mengayuh sepeda bersama lagi.

Pagi ini seperti biasa aku menjemputmu diluar pagar, kubunyikan bel berkali-kali, tapi anehnya hari ini kamu tidak muncul. Justru Ibumu yang menghampiri, "Ayu biar Ibu antar saja ke sekolah Nak Fadhli".

Maka hari ini dikelas aku lewati tanpa keceriaan sama sekali, bangkumu yang kali ini kosong mengganggu konsentrasiku. Saat jam istirahat aku melihatmu diantar Ayah Ibumu dikantor kepala sekolah, Ayahmu membungkukkan badan sedikit didepan pintu sambil menjabat tangan kepala sekolah, dari jendela kelas aku melihat Bu Muti, Wali Kelas kita mengusap-ngusap rambutmu sambil menasehati sesuatu, kamu menangis terisak-isak, terlihat seperti momen perpisahan.

Sepulang sekolah diburu rasa penasaran tentang keadaanmu aku memacu sepeda sekuat mungkin berniat untuk menjengukmu, tapi yang kudapati rumahmu kosong, dari tetanggamu aku tau bahwa Ayahmu pindah karena ikut bekerja dengan majikannya yang membuka usaha gudang beras di pasar dekat kota. 

Maka hari ini sepertinya ditakdirkan jadi hari perpisahan kita.
Pun hari-hari berikutnya terasa seperti penyiksaan, karena sepeda angin tua ini seolah memaksaku mengayuh hari mengejarmu, setiap hari. 

____________________________________________________________
#didedikasikan untuk siapa saja yang sedang menyimpan perasaan, ataupun yang menikmati setiap detik mencuri-curi pandang terhadap orang terkasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar