Saya menjumpai seorang narasumber yang sangat menarik ketika jalan-jalan di seputaran pasar besar pada malam hari, Emperan toko yang saat itu sudah mulai tutup rupanya merupakan tempat yang strategis untuk tidur dan beristirahat bagi sejumlah penghuni jalanan.
Memarkir sepeda motor di alun2 lalu berjalan kaki menyebrang kearah pasar besar saya menjumpai seorang bapak tua yang sedang mencoba beristirahat, penampilannya lusuh, disebelah kirinya terdapat karung putih yang mungkin digunakannya untuk memulung pada siang harinya, didepannya terdapat sebuah kaleng tergeletak berisi beberapa keping recehan. Dari raut wajahnya awalnya saya menduga usianya sekitar 55-60 tahun.
Bapak itu agak terusik dengan kehadiran kami yang asyik bercengkrama hanya beberapa meter dari tempatnya ingin beristirahat, kepalang tanggung sekalian saja kami menyapa Bapak tersebut, berbasa-basi dengan memberikan receh rupiah dikaleng yang terdapat didepannya kami mencoba menyapanya. Bapak tersebut menjawab hangat sapaan kami, sepertinya beliau cukup bersahabat untuk diajak ngobrol, maka semakin beranilah kami mendekatinya, saya duduk tak beralas didepan Bapak tersebut, rekan saya duduk di sebelah kirinya, coba membuka pembicaraan pertanyaan-pertanyaan ringan pun meluncur sebelum lebih jauh bertanya-tanya.
Seiring makin sepinya jalanan saat itu tak terasa sudah cukup lama kami bercengkrama, kalau saya tidak salah dengar Pak Nano namanya, asalnya dari Magelang jawa tengah. Beliau cukup senang kami ajak bicara, buktinya beliau begitu antusias bercerita tentang kehidupannya, lama mungkin beliau tidak bercengkrama dengan orang lain. Yang membuat saya kaget adalah ketika beliau berujar bahwa umurnya saat ini telah menginjak 82 tahun, sama sekali tidak menyangka, kulit wajahnya masih cukup kencang, keriput tidak banyak menggerus wajahnya, pergerakannya masih lincah, ingatannya masih baik saat bercerita tahun-tahun penting dalam perjalanan hidupnya semua masih terekam jelas diingatannya, pendengarannya pun masih tajam diusianya yang sepuh sehingga kami tidak terlalu banyak mengulang pertanyaan, suaranyanya masih terdengar jelas dan tegas, maka dibuat semakin antusiaslah kami mendengar celotehannya.
Kami larut dalam cerita-cerita beliau, Pramuniaga toko dengan dandanan cantiknya yang hendak pulang saat melewati kamipun sesekali terlihat melempar tatapan aneh, mungkin mereka heran melihat beberapa pemuda tanpa sungkan duduk di trotoar sembari bercengkrama dengan pengemis. Sesekali kami dibuat tertawa saat beliau memamerkan cerita-cerita lucunya. masa mudanya yg cukup berliku-liku, sempat menjadi pekerja sebuah kebun karet di Medan pada masa colonial Belanda, kemudian berpindah-pindah kota mulai dari SawahLunto di Sumatera Barat, hingga pada tahun 50’an bekerja di sebuah pabrik kerupuk di daerah Purwosari.
Serempetan peluru dari colonial Belanda saat berada di Medan dulu pernah beliau rasakan, tanpa ragu beliau memamerkan luka robek di dada dan panggulnya, bukti sisa-sisa digdaya masa mudanya yang sudah melewati berbagai zaman, mulai zaman penjajahan hingga zaman modern saat ini. Dari seorang wanita pemulung yang bersebelahan dengan kami juga kami tahu ternyata beliau seorang seniman, dulu saat tangannya masih fasih melukis (sejak tahun 62 tangan kanannya gemetar) beliau senang ke daerah Buring untuk memamerkan lukisannya.
Sayang malam makin larut hingga kami harus berpamitan. Mengakhiri obrolan malam ini, smg jalanan menjaganya, memberi rasa nyaman yg tidk didapat dari sebuah rumah. :D
hwaah mana mgkin ksh masukan kalau berbobot bgini, wow
BalasHapusngemeng apa kamu nduuk? ==?
BalasHapusanda dengan saya jauh berbeda, tulisan anda outstanding skali hhe
BalasHapushohh, yo sama saja lah.. ini jg bljr nulis nduk.
BalasHapus